KETERBUKAAN INFORMASI KEUANGAN UNTUK PERPAJAKAN

Komitmen Indonesia  untuk  ikut berperan serta dalam rangka Automatic Exchange of Financial Account Information (AEOI) dibuktikan dengan ditandatangainya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan (PERPU 1) pada tanggal 8 Mei 2017 oleh Presiden Jokowi yang kemudian telah disahkan menjadi Undang-Undang No. 9 Tahun 2017. Dengan berlakunya PERPU 1 ini, maka otomatis Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mempunyai wewenang untuk mendapatkan akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan secara langsung dari lembaga jasa keuangan, perbankan, pasar modal, asuransi atau entitas lain yang dikategorikan sebagai lembaga keuangan. PERPU 1 ini juga meniadakan kewajiban merahasiakan informasi keuangan berdasarkan perundang-undangan (UU Perbankan) lain kepada DJP yang sebelumya wajib dilakukan oleh lembaga keuangan di Indonesia.

Sebelum berlakunya PERPU 1, DJP sesungguhnya sudah mempunyai akses kepada informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan, namun hal ini belum dapat secara langsung dilakukan oleh pihak DJP melainkan diperlukan persetujuan dari  Pimpian Bank Indonesia  sebagaimana diatur di dalam Pasal 41 ayat 1 Undang-Undang No 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Dengan demikian, untuk mendapatkan informasi keuangan tersebut diperlukan waktu yang cukup lama, sehingga ada kecenderungan DJP hanya meminta informasi keuangan dalam hal terdapat indikasi tidak pidana perpajakan (proses Penyidikan atau Bukti Permulaan). Sedangkan dalam proses pemeriksaan yang harus diselesaikan dalam jangka waktu satu tahun (Restitusi), pihak DJP sering kali tidak dapat melakukan konfirmasi tersebut  karena keterbatasan waktu wajib diselesaikannya proses pemeriksaan pajak.

Dengan berlakunya peraturan ini, secara otomatis Dirjen Pajak mendapatkan informasi secara langsung dari pihak lembaga keuangan  untuk periode satu tahu kalender yang paling sedikit memuat informasi :

  • Identitas pemegang rekening keuangan;
  • Nomor rekening keuangan;
  • Identitas lembaga jasa keuangan;
  • Saldo atau nilai rekening dan
  • Penghasilan terkait dengan rekenig keuangan.

Selain informasi tersebut di atas, DJP juga mempunyai wewenang meminta informasi dan/atau bukti lain dari lembaga keuangan yang akan digunakan sebagai  basis data perpajakan dan mungkin bukan lagi menjadi halangan bagi DJP untuk mendapatkan informasi keuangan lebih cepat dan dapat menjadi basis data yang sangat akurat dalam proses pemeriksaan pajak.

Apabila ada pihak-pihak baik pimpinan, pegawai ataupun lembaga keuangan tersebut yang tidak melaksanakan ketentuan di dalam PERPU 1 ini termasuk tidak menyampaikan laporan, tidak melaksanakan prosedur, dan tidak memberikan informasi keuangan, maka akan terancam hukuman pidana selama 1 tahun ataupun denda paling banyak Rp. 1.000.000.000 (satu miliyar rupiah). 

PERPU 1 ini merupakan “senjata” yang sangat ampuh bagi DJP  untuk mendapatkan tambahan informasi keuangan, khususnya dalam mendapatkan tambahan setoran pajak dari para wajib pajak yang belum melaporkan harta ataupun penghasilan dalam Surat Pemberitahuan Pajak secara benar. Lebih lanjut, akan lebih beresiko bagi para wajib pajak yang telah mengikuti Tax Amnesty namun tidak melaporkan harta secara keseluruhan yaitu sanksi sebesar 200% akibat ada harta yang belum dilaporkan dalam Tax Amnesty. Akhir kata, selamat datang era keterbukaan informasi keuangan dan semoga dapat memberikan dampak positif bagi perekonomian Indonesia.